Oleh: Nurhafni (Kepala SMAN 4 Pekanbaru)
Buku adalah jendela dunia, mela lui buku berbagai pengetahuan dapat diketahui dan dipelajari.
Buku juga sebuah nutrisi bagi jiwa, ibarat sebuah makanan yang selalu menyuplai energi bagi raga. Begitu pentingnya peran buku dalam kehidupan manusia, namun ironinya pada era global ini banyak siswa yang masih enggan membaca buku. Membaca menjadi pekerjaan yang sangat berat bagi siswa, dan buku pun dipandang sebelah mata, karena kalah menarik dibanding game online dan permainan modern lainnya. Tidak mengherankan jika menurut hasil kajian Program For International Student Assessment (PISA) pada tahun 2012, bahwa tingkat membaca pelajar Indonesia menempati urutan ke-64 dari 65 anggota PISA dengan skor 396 dari standar 496.
Undang Undang Sistem Pendidikan nasional (Sisdiknas) No 20/2003 pasal 4 ayat 5 menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Budaya membaca dan menulis memang harus ditanamkan sedini mungkin, tidak terkecuali oleh guru. Seorang guru harus bisa memberi motivasi kepada siswa untuk gemar membaca dan menulis. Pastinya bukan sekadar seruan belaka dan tanpa contoh nyata.
Membaca-menulis (literasi) merupakan salah satu aktivitas penting dalam hidup. Sebagian besar proses pendidikan bergantung pada kemampuan dan kesadaran literasi. Budaya literasi yang tertanam dalam diri peserta didik mempengaruhi tingkat keberhasilan baik di sekolah maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Tidak berlebihan kiranya Farr menyebut bahwa Reading is the heart of education. Bagi masyarakat muslim, pentingnya literasi ditekankan dalam wahyu pertama Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yakni perintah membaca (iqra’) yang dilanjutkan dengan mendidik melalui literasi.
Sedangkan dalam kaitannya dengan menulis, Hernowo (2005) dalam bukunya “Mengikat Makna” menyebut bahwa menulis dapat membuat pikiran kita lebih tertata tentang topik yang kita tulis, membuat kita bisa merumuskan keadaan diri, mengikat dan mengonstruksi gagasan, mengefektifkan atau membuat kita memiliki sugesti (keyakinan/ pengaruh) positif, membuat kita semakin pandai memahami sesuatu (menajamkan pemahaman), meningkatkan daya ingat, membuat kita lebih mengenali diri kita sendiri, mengalirkan diri, membuang kotoran diri, merekam momen mengesankan yang kita alami, meninggalkan jejak pikiran yang sangat jelas, memfasihkan komunikasi, memperbanyak kosa-kata, membantu bekerjanya imajinasi, dan menyebarkan pengetahuan.
Dalam konteks pendidikan nasional kita, minat baca-tulis masyarakat kita sangat menghawatirkan. Hal ini disebabkan adanya pelbagai persoalan, misalnya: Hampir semua kota-kota besar di Indonesia tidak punya perpustakaan yang memadai, padahal keberadaan perpustakaan yang memadai adalah salah satu ciri kota-kota modern di negara maju, Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menonton TV daripada membaca buku. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, seringkali belum memiliki program pengembangan literasi, atau menumbuhkan budaya baca-tulis secara sistemik. Padahal siswa menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah.
Adapun penyebabnya adalah gagalnya program perpustakaan sekolah secara nasional bisa dikatakan telah gagal menciptakan budaya membaca bagi siswa. Kunjungan siswa dan jumlah peminjaman buku sangat minim. Hal ini dikarenakan beberapa faktor: Jumlah buku koleksi perpustakaan tidak cukup untuk memenuhi tuntutan kebutuhan membaca sebagai basis proses pendidikan. Rendahnya jumlah koleksi tidak diantisipasi dengan program pengadaan buku secara berkala, peralatan, perlengkapan, dan petugas perpustakaan tidak sesuai kebutuhan. Sebagian petugas bukanlah tenaga pustakawan khusus dan minim mendapatkan peningkatan (pendidikan atau pelatihan kepustakaan). Sekolah tidak mengalokasikan anggaran khusus yang memadai untuk pengembangan perpustakaan sekolah. Akhirnya keberadaan perpustakaan menjadi tidak bermakna karena kurangnya program kegiatan dan pengembangan.
Ancaman global rendahnya literacy awareness bangsa Indonesia sekarang ini akan semakin melemahkan daya saing bangsa dalam persaingan global yang semakin kompetitif sehingga sumber daya manusia Indonesia kurang kompetitif karena kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, ini adalah akibat turunan dari rendahnya kemampuan baca-tulis.
Melihat persoalan bangsa yang sedemikian krusial dalam hal kesadaran literasi, dibutuhkan kerja sama banyak pihak untuk mengatasinya. Paling penting adalah adanya tindakan nyata yang bukan sekedar wacana semata. Diperlukan intervensi secara sistemik, masif, dan berkelanjutan untuk menumbuhkan budaya literasi masyarakat. Pendekatan yang dianggap paling efektif adalah penyadaran literasi sejak dini dengan melibatkan dunia pendidikan. Hal ini karena tidak dipungkiri hampir seluruh anak berstatus sebagai pelajar dan melalui proses pendidikan, sebuah program yang sistematik bisa masuk dengan efektif.
Aksi nyata perbaikan budaya literasi melalui sebuah program yang disebut Geakan Literasi Sekolah sangatlah penting. Di mana Gerakan Literasi Sekolah adalah sebuah gerakan penyadaran literasi yang dimulai dari lembaga pendidikan. Dengan sasaran kegiatan mengajak semua pihak untuk terlibat dalam usaha penyadaran budaya literasi yakni: Sekolah, sebagai lembaga yang menjadi tempat pelaksanaan gerakan. Guru sebagai tenaga pendidik dan teladan bagi siswa. Siswa sebagai sasaran utama gerakan. Pemerintah daerah (dinas pendidikan), sebagai pembuat kebijakan,. Yayasan penyelenggara pendidikan, sebagai pembuat kebijakan. Pengelola perpustakaan sebagai pusat kegiatan baca-tulis. Perusahaan sebagai penyumbang buku melalui program CSR dan media massa sebagai saluran informasi masyarakat
Bentuk kegiatan gerakan literasi Sekolah adalah sebuah program intervensi pembudayaan literasi yang tepat, mudah dilaksanakan, dilakukan secara sistemik, komprehensif, merata pada semua komponen sekolah, berkelanjutan, dan dikelola secara profesional oleh lembaga yang kredibel. Kegiatan yang akan dilakukan dalam Gerakan Literasi Sekolah ini adalah : Seminar dan workshop, program membaca rutin di sekolah (Sustained Silent Reading) atau disingkat SSR adalah strategi intervensi membaca yang telah digunakan oleh negara-negara maju dalam membudayakan dan meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca.
Program pengembangan mencakup penambahan koleksi buku, maupun inovasi lain untuk mendekatkan siswa kepada perpustakaan misalnya melalui kegiatan perpustakaan kelas. Adapun program peningkatan koleksi perpustakaan dilakukan dengan dua cara, yakni secara internal melalui kegiatan One Student One Book (OSOB) melibatkan siswa/orang tua untuk menyumbang buku kepada perpustakaan. Lomba literasi (membaca– menulis) dilakukan untuk semakin menumbuhkan kebutuhan membaca-menulis kepada warga sekolah. Lomba literasi bisa diintegrasikan dengan kegiatan sekolah seperti pada peringatan Bulan Bahasa. Beberapa jenis kegiatan lomba literasi yang bisa dilakukan antara lain: speed reading contest, comprehensive reading contest, story telling competition, essay competition, book review competition, poetry contest, dan magazine competition.
Jumpa penulis & bedah buku. Kegiatan jumpa penulis (meet the author) ditujukan untuk memotivasi peserta gerakan literasi sekolah untuk menjadi penulis sukses. Penulis yang dihadirkan adalah penulis buku bermutu dan terkait dengan dunia pendidikan / pengembangan diri siswa. Pemberian penghargaan
Pemberian penghargaan ini dilakukan melalui kegiatan bertajuk Literacy Award. Pameran buku. Pelatihan menulis merupakan kegiatan yang dirancang agar setiap sekolah melatih/mendidik siswa untuk menulis.
One Child One Book (OCOB) merupakan kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan jumlah dan jenis buku bacaan disekolah.***
Buku juga sebuah nutrisi bagi jiwa, ibarat sebuah makanan yang selalu menyuplai energi bagi raga. Begitu pentingnya peran buku dalam kehidupan manusia, namun ironinya pada era global ini banyak siswa yang masih enggan membaca buku. Membaca menjadi pekerjaan yang sangat berat bagi siswa, dan buku pun dipandang sebelah mata, karena kalah menarik dibanding game online dan permainan modern lainnya. Tidak mengherankan jika menurut hasil kajian Program For International Student Assessment (PISA) pada tahun 2012, bahwa tingkat membaca pelajar Indonesia menempati urutan ke-64 dari 65 anggota PISA dengan skor 396 dari standar 496.
Undang Undang Sistem Pendidikan nasional (Sisdiknas) No 20/2003 pasal 4 ayat 5 menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Budaya membaca dan menulis memang harus ditanamkan sedini mungkin, tidak terkecuali oleh guru. Seorang guru harus bisa memberi motivasi kepada siswa untuk gemar membaca dan menulis. Pastinya bukan sekadar seruan belaka dan tanpa contoh nyata.
Membaca-menulis (literasi) merupakan salah satu aktivitas penting dalam hidup. Sebagian besar proses pendidikan bergantung pada kemampuan dan kesadaran literasi. Budaya literasi yang tertanam dalam diri peserta didik mempengaruhi tingkat keberhasilan baik di sekolah maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Tidak berlebihan kiranya Farr menyebut bahwa Reading is the heart of education. Bagi masyarakat muslim, pentingnya literasi ditekankan dalam wahyu pertama Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yakni perintah membaca (iqra’) yang dilanjutkan dengan mendidik melalui literasi.
Sedangkan dalam kaitannya dengan menulis, Hernowo (2005) dalam bukunya “Mengikat Makna” menyebut bahwa menulis dapat membuat pikiran kita lebih tertata tentang topik yang kita tulis, membuat kita bisa merumuskan keadaan diri, mengikat dan mengonstruksi gagasan, mengefektifkan atau membuat kita memiliki sugesti (keyakinan/ pengaruh) positif, membuat kita semakin pandai memahami sesuatu (menajamkan pemahaman), meningkatkan daya ingat, membuat kita lebih mengenali diri kita sendiri, mengalirkan diri, membuang kotoran diri, merekam momen mengesankan yang kita alami, meninggalkan jejak pikiran yang sangat jelas, memfasihkan komunikasi, memperbanyak kosa-kata, membantu bekerjanya imajinasi, dan menyebarkan pengetahuan.
Dalam konteks pendidikan nasional kita, minat baca-tulis masyarakat kita sangat menghawatirkan. Hal ini disebabkan adanya pelbagai persoalan, misalnya: Hampir semua kota-kota besar di Indonesia tidak punya perpustakaan yang memadai, padahal keberadaan perpustakaan yang memadai adalah salah satu ciri kota-kota modern di negara maju, Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menonton TV daripada membaca buku. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, seringkali belum memiliki program pengembangan literasi, atau menumbuhkan budaya baca-tulis secara sistemik. Padahal siswa menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah.
Adapun penyebabnya adalah gagalnya program perpustakaan sekolah secara nasional bisa dikatakan telah gagal menciptakan budaya membaca bagi siswa. Kunjungan siswa dan jumlah peminjaman buku sangat minim. Hal ini dikarenakan beberapa faktor: Jumlah buku koleksi perpustakaan tidak cukup untuk memenuhi tuntutan kebutuhan membaca sebagai basis proses pendidikan. Rendahnya jumlah koleksi tidak diantisipasi dengan program pengadaan buku secara berkala, peralatan, perlengkapan, dan petugas perpustakaan tidak sesuai kebutuhan. Sebagian petugas bukanlah tenaga pustakawan khusus dan minim mendapatkan peningkatan (pendidikan atau pelatihan kepustakaan). Sekolah tidak mengalokasikan anggaran khusus yang memadai untuk pengembangan perpustakaan sekolah. Akhirnya keberadaan perpustakaan menjadi tidak bermakna karena kurangnya program kegiatan dan pengembangan.
Ancaman global rendahnya literacy awareness bangsa Indonesia sekarang ini akan semakin melemahkan daya saing bangsa dalam persaingan global yang semakin kompetitif sehingga sumber daya manusia Indonesia kurang kompetitif karena kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, ini adalah akibat turunan dari rendahnya kemampuan baca-tulis.
Melihat persoalan bangsa yang sedemikian krusial dalam hal kesadaran literasi, dibutuhkan kerja sama banyak pihak untuk mengatasinya. Paling penting adalah adanya tindakan nyata yang bukan sekedar wacana semata. Diperlukan intervensi secara sistemik, masif, dan berkelanjutan untuk menumbuhkan budaya literasi masyarakat. Pendekatan yang dianggap paling efektif adalah penyadaran literasi sejak dini dengan melibatkan dunia pendidikan. Hal ini karena tidak dipungkiri hampir seluruh anak berstatus sebagai pelajar dan melalui proses pendidikan, sebuah program yang sistematik bisa masuk dengan efektif.
Aksi nyata perbaikan budaya literasi melalui sebuah program yang disebut Geakan Literasi Sekolah sangatlah penting. Di mana Gerakan Literasi Sekolah adalah sebuah gerakan penyadaran literasi yang dimulai dari lembaga pendidikan. Dengan sasaran kegiatan mengajak semua pihak untuk terlibat dalam usaha penyadaran budaya literasi yakni: Sekolah, sebagai lembaga yang menjadi tempat pelaksanaan gerakan. Guru sebagai tenaga pendidik dan teladan bagi siswa. Siswa sebagai sasaran utama gerakan. Pemerintah daerah (dinas pendidikan), sebagai pembuat kebijakan,. Yayasan penyelenggara pendidikan, sebagai pembuat kebijakan. Pengelola perpustakaan sebagai pusat kegiatan baca-tulis. Perusahaan sebagai penyumbang buku melalui program CSR dan media massa sebagai saluran informasi masyarakat
Bentuk kegiatan gerakan literasi Sekolah adalah sebuah program intervensi pembudayaan literasi yang tepat, mudah dilaksanakan, dilakukan secara sistemik, komprehensif, merata pada semua komponen sekolah, berkelanjutan, dan dikelola secara profesional oleh lembaga yang kredibel. Kegiatan yang akan dilakukan dalam Gerakan Literasi Sekolah ini adalah : Seminar dan workshop, program membaca rutin di sekolah (Sustained Silent Reading) atau disingkat SSR adalah strategi intervensi membaca yang telah digunakan oleh negara-negara maju dalam membudayakan dan meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca.
Program pengembangan mencakup penambahan koleksi buku, maupun inovasi lain untuk mendekatkan siswa kepada perpustakaan misalnya melalui kegiatan perpustakaan kelas. Adapun program peningkatan koleksi perpustakaan dilakukan dengan dua cara, yakni secara internal melalui kegiatan One Student One Book (OSOB) melibatkan siswa/orang tua untuk menyumbang buku kepada perpustakaan. Lomba literasi (membaca– menulis) dilakukan untuk semakin menumbuhkan kebutuhan membaca-menulis kepada warga sekolah. Lomba literasi bisa diintegrasikan dengan kegiatan sekolah seperti pada peringatan Bulan Bahasa. Beberapa jenis kegiatan lomba literasi yang bisa dilakukan antara lain: speed reading contest, comprehensive reading contest, story telling competition, essay competition, book review competition, poetry contest, dan magazine competition.
Jumpa penulis & bedah buku. Kegiatan jumpa penulis (meet the author) ditujukan untuk memotivasi peserta gerakan literasi sekolah untuk menjadi penulis sukses. Penulis yang dihadirkan adalah penulis buku bermutu dan terkait dengan dunia pendidikan / pengembangan diri siswa. Pemberian penghargaan
Pemberian penghargaan ini dilakukan melalui kegiatan bertajuk Literacy Award. Pameran buku. Pelatihan menulis merupakan kegiatan yang dirancang agar setiap sekolah melatih/mendidik siswa untuk menulis.
One Child One Book (OCOB) merupakan kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan jumlah dan jenis buku bacaan disekolah.***
Sumber: http://www.riaupos.co
1 Komentar
Terimakasih, Ibu Nurfahni, setelah membaca artikel anda, saya sebagai mahasiswa dan juga sebagai pelatih KIR mendapatkan banyak sekali inspirasi, terimakasih :)
BalasHapus