Samping Kiri

Ban Karet



Hasil gambar untuk gambar ban sepeda

Ban Karet

Perkenalkan, namaku Lentera Al Maghriby. Tera, itu nama panggilanku. Mungkin nama itu aneh menurut kalian. Tapi, jelas nama itu sangat keren, bahkan panggilan itu sangat modern. Bayangkan, satuan ukuran kapasitas harddisk komputer saat ini menggunakan namaku. Tera, terabyte. Keren bukan?.
Konon kata ayah, nama ini terinspirasi dari pesan singkat dari sahabatnya. Semasa kuliah hingga sekarang kata ini selalu terngiang dalam benaknya. Dan itu memuncak, saat ibu mau melahirkanku di rumah sakit. Saat ayah galau menunggu masa-masa kelahiranku. Ayah hilir-mudik dari ruang tunggu depan kamar tempat ibu dirawat ke mushola rumah sakit. Ayah, bolak balik dari dua tempat itu. Nah, entah yang keberapakali ke mushola, ayah bertemu kembali dengan sahabat semasa kuliahnya itu.
Di mushola rumah sakit itulah ayah mengenang kembali salah satu masa-masa hebatnya. Awal pertemuan itu memang agak canggung, maklum kawan lama tak pernah bersua. Tapi setelah itu, perbincangan mereka semakin akrab, bahkan mungkin lebih spesial ketimbang percakapan semasa kuliah. Mereka memulai pembicaraan basa-basi dengan menanyakan bagaimana kabar imanmu, kesehatanmu, keluargamu, kerjaanmu hingga ngelantur berbicara tentang carut marut negara. Koruptor, para penjilat, pejabat yang tidak berintegritas dan lain sebagainya. Saat membicarakan ‘kegelapan’ negara itulah mereka berdua teringat sebuah kutipan dalam pesan singkat berantai. Kutipan yang membuat mereka selalu teringat masa itu. Kutipan yang menurut mereka sangat berkesan, memorable quotes. “lebih baik menyalakan lentera daripada mengutuki gulita”. Tanpa komando mereka mengucapkan kutipan itu secara bersamaan. Kata-kata itu sejenak mengurangi kegundahan hati ayah menunggu kelahiranku.
Ayah mengambil satu kata dari kutipan itu, lentera. “Iya, Lentera, itu nama untuk anak pertamaku” kata ayah beberapa saat setelah kelahiranku. “Tepat pukul 18.02 Adzan maghrib berkumandang. Saat orang-orang di kampung ayah dulu mulai menyalakan lentera. Saat itulah kamu dilahirkan Tera”, begitu kata ayah.
Aku sama seperti kalian. Seperti saudara atau sahabat-sahabat kalian. Aku ingin merayakan ulang tahunku. Aku lahir hari Senin 30 Dzul Hijjah 1423 Hijriyah atau bertepatan tanggal 3 Maret 2003 Masehi, kata ayah. Jadi, dua maret nanti aku akan berulang tahun yang keduabelas. Walaupun aku sendiri bingung kenapa harus bernama perayaan ulang tahun. Bukankah tidak ada tahun yang berulang, yang ada hari, tanggal atau bulan. Kenapa orang-orang menamakan ulang tahun? Tidak ulang hari, ulang tanggal atau bulan. Tapi seperti kalian juga, aku tak pernah peduli. Yang terpenting bagiku dan mungkin juga kalian, ingin setiap ulang tahun dirayakan bersama keluarga dan teman-teman, dirumah atau ditempat manakah. Bahkan orangtuaku belum pernah merayakan ulang tahunku. Aku ingin merayakannya seperti teman-teman kelasku. Seperti teman-teman sekolahku. Mungkin juga seperti kalian.
Tapi kisahku ini justru membuatku berfikir sebaliknya. Bahkan karena peristiwa ini aku tidak peduli lagi dengan ulang tahun. Bagiku hari-hari itu sama saja. bahkan baginda Nabi Muhammad SAW pun tak mengajarkan ulang tahun. Kalaupun toh ada Maulid Nabi, atau mengenang hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, itu lebih karena wujud kecintaan umat kepada Nabinya. Kalaupun harus diperingati tidak harus berlebihan, menganggap ini sebagai kebenaran. Kalaupun tidak sepakat dengan peringatan ini, tidak perlulah membenci atau mengutukinya sebagai kesesatan.
Bagiku sekarang, hari hanya ada tiga. Begitu juga kata teladanku, baginda Nabi. Hari kemarin, hari ini, dan hari esok. Itu saja, tidak lebih tidak kurang. Dan ceritaku hari ini, esok akan menjadi hari kemarin, hari yang akan kujadikan pelajaran dan membuatku lebih memahami kehidupan.
06.15 WIB
Hari ini, Senin 3 Maret 2014. Tepat pada hari, bulan dan tanggal yang sama aku dilahirkan 11 tahun silam. Pagi yang sangat cerah, sang fajar menyeruak indah diantara warna jingga keputih-putihan yang terbiaskan oleh gugusan awan yang menggantung megah. Pagi itu, aku sudah menggantungkan banyak harapan. Hadiah dari teman-temanku, ayah atau ibuku. Harapan hadiah di hari ulang tahunku. Tapi justru menjadi hari yang paling tidak ingin aku ingat. Mungkin kalian pernah mengalaminya, atau bahkan lebih parah. Motor kami pecah ban, bannya bocor. “Kebanan” kata ayah.
Yah, ini sudah jam berapa? Tera terlambat nih”.
“Iya Tera, ayah ngerti, sabar ya! ini baru nyari tambal ban”.
Jalan sekitar 200 meter kami menemukan tambal ban. Pas saat kami akan menghampiri pemiliknya, pemiliknya sudah diatas motor hendak pergi.
“Maaf mas, buka e mangke jam 08.00, niki ajeng teng peken” sambut pemilik tambal ban sebelum kami menyatakan maksud.
“hah...”, aku mendesah kesal.
Berjalan 500 meter berikutnya, kami bertanya pada orang yang lewat.
ngapunten, mriko onten tambal ban mboten njih?”, tanya ayah sambil menunjuk arah jalan yang akan kami lalui.
Wah mriko tebih mas”, jawab ibu pejalan kaki yang kami tanya.
mriko niko enten mas, njenengan lewati”, tambah ibu itu.
sampun king mriko bu, taseh tutup”, jawab ayah.
kulone niko enten mas, tapi njenengan mbalik muter mriko. Njenengan lewat mriko mangke onten gundukan pasir, njenengan tangklet tambal ban, ngonten mawon”, rinci ibu itu menjelaskan.
o njih matur nuwun”, ayah berfikir sejenak, menghitung situasi dan kembali ke jalan yang kami lewati dan menuju arah yang ditunjuk ibu pejalan kaki tadi.
“hah, kok mbalik meleh tho yah”, tanyaku kesal.
“iya, kan kata ibu itu tadi tambal bannya disini yang paling dekat”.
06.53 WIB
Segera setelah sampai di tempat tambal ban kedua, ayah memarkir motor Mio warna biru kami dengan satu standard. Tukang tambal ban segera men-jagang-nya dua standard. Kemudian ia meneliti roda ban senti demi senti, mencari kalau-kalau ada paku atau benda tajam lain yang mengenai ban motor matic satu-satunya milik keluarga kami. Kenapa satu-satunya, karena sejujurnya, ayah sebenarnya tidak terlalu senang dengan motor matik. Ayah beli ini demi untuk mengakomodir keinginan dan kemampun ibuku yang memang tidak bisa naik motor laki-laki atau motor bebek. Begitulah ayah, walau itu tidak sesuai dengan keinginannya ia tetap menghargai dan menghormati orang lain. Satu keterampilan atau pemahaman hidup yang sebenarnya aku iri bisa memilikinya.
“Duduk sini tera!”, minta ayah agar aku duduk menunggu tambalan itu selesai.
“Tera mau jalan kaki aja yah ke sekolah”, jawabku sekenanya.
“jauh tera!”, sahut ayah sambil mengeluarkan smartphone dari dalam saku celananya.
Entahlah aku akhirnya duduk dan menunggu dengan sebal. Ayah malah merekam setiap detik proses penambalan ban. Rekaman yang kemudian membuatku mengerti banyak hal. Rekman dari pertama kali tukang tambal ban itu mengambil cungkil hingga memukul ban tanda sudah beres semua dan siap dipakai.
Setelah memeriksa detail ban dan tidak menemukan satupun benda runcing yang menancap di ban, tukang tambal segera mengambil alat cungkil ban. Bentuknya tidak biasa memang. Besi pipih dengan panjang 20an centimeter dan diameter satu centimeter, serta gepeng diujungnya. Kalau petani senjatanya adalah cangkul. Para pelajar dan cendekia senjatanya adalah buku dan bulpen. Senjata para sales adalah barang dagangan. Maka inilah senjata tukang tambal ban. Cungkil ban.
            Dengan perlahan satu cungkil dipasang. Cungkil kedua. Dan sebagai pembuka adalah cungkil yang ketiga, seketika, ban itu mulai terbuka. Cungkilan ketiga inilah sebagai pembuka. Setelah cungkilan ketiga ini maka selanjutnya akan lebih mudah. “yang paling sulit adalah saat pertama kali membuka dan saat menutup ban, itu bagian terpentingnya”. Begitu ayah menjelaskan saat aku melihat rekaman ini kembali.
            Setelah selesai membuka ban luar yang keras itu, pak tukang tambal segera melepas dop pentil ban. Kemudian menarik ban dalam keluar dari sarangnya. Tukang tambal itu dengan sigap segera memasang dop pentil dan segera memompa ban itu dengan pompa mesin. Setelah ban dikira cukup keras tukang tambal itu segera memasukkan ban itu kedalam ember berisi air. Dengan seksama meniti senti-demi senti mencari gelembung air yang ditimbulkan dari keluarnya angin dari dalam ban akibat bocor. Setengah jalan ia akhirnya menemukan gelembung itu, tidak besar memang tapi cukup untuk membuat ban kempes dalam beberapa menit saja. Ia segera menandainya dengan sepotong lidi. Kemudian melanjutkan memeriksa ban dalam itu, mencari kalau-kalau masih ada bocor yang lain. Setelah selesai satu putaran ternyata hanya bocor kecil itu saja yang ditemukan.
            Kemudian ia melepas kembali dop pentil ban itu dan segera mengeringkan ban. Mengambil kayu pipih dan pisau bergerigi. Tukang tambal itu secara hati-hati menggaruk-garuk ban itu dengan pisau bergerigi ditangannya. Setelah dikira cukup, segera ia mengambil karet untuk menutup bocor itu. Memperkirakan ukurannya, kemudian memotong dan menempelkannya dengan lem diatas bekas goresan pisau bergerigi itu.
            Kemudian ia mengambil sebuah alat pemanas, meletakkan ban dan menaruh potongan karet tambal diatasnya. Menindihnya dengan pemanas dari atas dan memutarnya kuat-kuat agar tidak bergerak. Setelah itu ia menuangkan spirtus kedalam pemanas itu dan menyalakannya dengan korek api. Bul! Menyembullah api dari kapas bercampur spirtus itu. Tapi kemudian api mereda secukupnya, tidak besar tapi juga tidak kecil. Sambil menungu 13 menit lebih 38 detik tukang tambal itu mematikan. Mengangkat pemanas dan mengambil ban yang sudah tertutup rapi oleh potongan karet ban penambal.
Tepat pukul 08.35 ban itu selesai ditambal.
Sampun mas” kata tukang tambal itu.
Pinten pak?” jawab ayahku.
Gangsal ewu mawon”.
Kemudian ayah mengeluarkan selembar uang lima ribuan dari dompetnya dan memberikan kepada tukang tambal ban.
Matur nuwun pak” ayah menutup percakapan itu.
njih sami-sami”. Dan kami pun berlalu dari tempat itu menuju sekolahku dengan rasa kesal tentunya, karena ku jelas sudah terlambat. Hari itu aku masuk kelas dengan hati tak karuan. Kesal dengan ayahku karena mengantarku terlambat. Akupun bersumpah serapah tidak jelas. Dan sumpah itulah yang membuatku jera untuk selamanya.
Ketika aku pulang sekolah.
“assalamu’alaikum...”, tidak ada yang menjawab. Tapi pintu rumah tidak dikunci. Aku segera menyeruak menuju kamar. Dan mendapati ibuku menangis disamping ayah yang terbaring lemas penuh ketenangan. Aku segera menghampiri dan menangis.
“Maafkan tera yah!”.
“Kamu tidak salah tera, ini salah ayah, ayah tidak apa-apa”.
Kulihat kaki kiri ayah dilapis gib, kaki ayah patah karena kecelakaan setelah mengantarku sekolah. Maafkan aku ayah.
“Jadilah seperti karet ban Tera!”, ayah menasehatiku, sambil menunjukkan rekaman itu meski dalam keadaan berbaring.
Aku hanya diam.
“Kau tahu, ban karet itu anginnya tidak boleh berlebih. Tekanananya harus pas. Kalau terlalu besar ia akan pecah, bila kekurangan ia akan kempes dan mudah rusak. Persis seperti hatimu. Harusnya ia pas, saat marah engkau harus mengurangi tekanan didalamnya. Saat engkau merasa imanmu melemah maka engkau harus segera mengisinya. Satu lagi, ban karet juga pandai meredam getaran dan tidak berisik.”.
“Maafkan Tera ya yah”.
Sejak saat itu aku berjanji tidak akan membenci atau mengutuki lagi musibah, kegelapan dan lain sebagainya. Aku hanya akan menyalakan lentera di dalam hatiku. Menyambungkannya dengan pemilik cahaya, agar terus bersinar dan bertenaga. Seperti do’a ayah dalam namaku. Cahaya di kala Maghrib.

*****

By: Qomaruddin

Posting Komentar

0 Komentar