Cara Menentukan Waktu Shalat Ketika Di Pesawat
Menentukan Waktu Shalat Ketika Di Pesawat
Assalamu’alaikum, Pak. Ngapunten… Ada teman yang akan berangkat
ke amerika. Di jadwal perjalanan tertulis penerbangan : berangkat 4 Jan
09.20 dari Sing sampai Los Angeles di hari yg sama 4 Jan 11.55 waktu
sana (waktu LA 15 jam lebih lambat). Dan sudah ditanyakan kepada yang
pernah ke sana bahwa perjalanan ke amerika, entah berangkat atau pulang
pasti akan mendapati perjalanan siang/malam terus, pdhal perjalanan 18
jam. Dia bertanya, bagaimana shalatnya : sesuai keadaan matahari (siang
terus -zhuhur dan ‘ashr saja) atau tetap 5 waktu dg memperkirakan
waktunya?
Faridh
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Wa alaikumus salam wa rahmatullah
Pertama, syariat islam memberikan batasan
beberapa waktu ibadah, seperti shalat maupun puasa dengan tanda alam
yang bisa terindera, yaitu posisi peredaran matahari. Sehingga seorang
muslim bisa mengetahui batasan waktu itu dengan dua cara,
1. Melihat langsung tanda alam itu. Allah ajarkan batasan puasa dalam al-Quran,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. al-Baqarah: 187)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan bagaimana menentukan waktu berbuka
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Jika malam telah datang dari arah sini dan waktu siang telah
berlalu dari sini, serta matahari telah tenggelam, maka itulah saatnya
orang yang shaum boleh berbuka.” (Muttafaq ‘alaih).
2. Cara kedua adalah melalui informasi orang yang terpercaya. Sebagaimana yang terjadi pada Ibnu Ummi Maktum Radhiyallahu ‘anhu,
sahabat buta yang menjadi petugas adzan untuk waktu subuh. Karena
beliau buta, sehingga beliau baru tahu terbitnya fajar, setelah diberi
tahu orang lain. (HR. Bukhari 592)
Praktek masyarakat dengan melihat jadwal shalat kalender, termasuk
bentuk penerapan cara kedua. Meyakini datangnya waktu ibadah berdasarkan
informasi dari orang yang terpecaya. Termasuk juga terkadang awak
pesawat menginformasikan waktu shalat kepada para penumpang.
Kedua, mengingat acuan waktu ibadah shalat
kembali kepada posisi matahari, ada perbedaan yang sangat signifikan
antara waktu shalat di darat dengan waktu shalat di atas pesawat.
Terutama untuk waktu asar, maghrib, dan subuh. Terkadang di darat,
matahari sudah tenggelam. Namun di udara matahari masih bisa terlihat
dengan jelas.
Di sinilah yang menjadi titik masalah, apa acuan waktu yang harus digunakan?
Waktu di darat yang lurus dengan posisi pesawatnya berada? Ataukah posisi matahari sebagaimana yang terlihat di pesawat?
Jika kita perhatikan beberapa literatur fiqh masa silam, sebenarnya
para ulama telah memberikan keterangan tentang kasus semacam ini.
Meskipun di zaman itu belum ada pesawat. Keterangan yang mereka
samaikan, terkait kasus orang yang tinggal atas gunung atau orang yang
berada di atas menara. Ini artinya, masalah perbedaan waktu ibadah
karena perbedaan posisi ketinggian, bukan masalah kontemporer.
Imam al-Kasani (w. 587 H) pernah menukil keterangan dari Imam Abu
Abdillah bin Abi Musa ad-Dharir. Bahwa beliau pernah ditanya tentang
kasus penduduk Iskandariyah. Kota ini merupakan pelabuhan tua di Mesir
dan di sana terdapat mercusuar yang dibangun sekitar tahun 280 SM.
Tinggi mercusuar ini sekitar 120 m.
Imam Abu Abdillah ad-Dharir ditanya,
Masyarakat di dataran Iskandariyah melihat matahari telah tenggelam.
Sementara mereka yang berada di atas mercusuar baru melihat matahari
tenggelam beberapa menit setelah itu.
Jawaban Imam Abu Abdillah,
يحل لأهل البلد الفطر ولا يحل لمن على رأس المنارة إذا كان
يرى غروب الشمس؛ لأن مغرب الشمس يختلف كما يختلف مطلعها، فيعتبر في أهل كل
موضع مغربه
Dibolehkan bagi penduduk daerah (yang tinggal di darat) untuk
berbuka. Namun tidak boleh bagi mereka yang berada di uncak menara,
sampai dia telah melihat terbenamnya matahari. Karena waktu terbenamnya
matahari berbeda-beda sebagaimana waktu terbitnya matahari juga berbeda.
Sehingga masing-masing orang mengikuti waktu terbenamnya sesuai
posisinya. (Badai’ as-Shanai’, 2/83)
Dengan mengacu pada keterangan beliau, maka acuan waktu shalat bagi
penumpang pesawat adalah posisi matahari sebagaimana yang terlihat di
pesawat.
Ketiga, islam memberikan kelonggaran bagi
musafir untuk menjamak shalat wajibnya. Sehingga memudahkan mereka dalam
menentukan waktu shalat. Karena yang harus mereka perhatikan tinggal 3
waktu:
- Waktu shalat subuh: sejak terbit fajar hingga terbenam matahari
- Waktu dzuhur dan asar: antara tergelincirnya matahari, hingga terbenam matahari.
- Waktu Maghrib dan isya: antara terbenamnya matahari, hingga pertengahan malam.
Musafir dibolehkan melakukan jamak taqdim maupun ta’khir, sesuai dengan keadaannya.
Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ فِى
غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ
بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ
الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعَصْرِ وَفِى الْمَغْرِبِ
مِثْلَ ذَلِكَ إِنْ غَابَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ
بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ
الشَّمْسُ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعِشَاءِ ثُمَّ جَمَعَ
بَيْنَهُمَا
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di Tabuk,
apabila beliau melakukan perjalanan setelah matahari tergelincir (telah
masuk waktu zuhur), maka beliau menjamak shalat zuhur dan ashar (jamak
taqdim). Dan apabila beliau melakukan perjalanan sebelum matahari
tergelincir, beliau mengakhirkan shalat zuhur hingga beliau jamak di
waktu ashar. Untuk maghrib juga demikian. Jika matahari tenggelam
sebelum beliu berangkat, beliau menjamak antara maghrib dengan isya
(jamak taqdim). Dan jika berangkat sebelum matahari tenggelam, beliau
akhirkan shalat maghrib, hingga beliau singgah untuk melakukan shalat
isya, kemudian beliau menjamaknya dengan maghrib.
(HR. Muslim 6086, Abu Daud 1210, Tirmidzi 556 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
Keempat, dilema antara waktu dan tata cara
ada banyak kekurangan ketika orang melakukan shalat di atas
kendaraan. Diantaranya, dia tidak bisa shalat sambil berdiri, tidak bisa
rukuk dan sujud dengan semurna, terkadang tidak menghadap kiblat, dan
bahkan terkadang tidak bisa wudhu, dan hanya tayammum. Sehingga shalat
di kendaraan, menyebabkan tata cara shalatnya sangat jauh dari kondisi
sempurna.
Berbeda dengan shalat di darat. Dia bisa laksanakan dengan lebih sempurna. Hanya saja waktunya di akhirkan.
Di sinilah musafir dihadapkan pada dua pilihan, pertama, melakukan shalat di awal waktu, namun di atas kendaraan dengan penuh kekurangan. Kedua, menunda waktu shalat namun dia bisa kerjakan secara lebih sempurna.
Anda bisa perhatikan kaidah fiqh berikut untuk menentukan pilihan yang terbaik,
الفضيلة في ذات العبادة مقدمة على الفضيلة في مكان أو وقت العبادة
Menyempurnakan tata cara ibadah lebih didahulukan dari pada mengambil
tempat atau waktu yang utama dalam ibadah. (Fawaid ar-Rajihi, 5/4)
Berdasarkan kaidah ini, kita ditekankan untuk memilih opsi kedua,
menunda waktu shalat namun dia bisa kerjakan secara lebih sempurna,
dengan catatan tidak sampai keluar waktu shalat.
Seperti inilah yang difatwakan Imam Ibnu Utsaimin. Bahkan beliau
melarang shalat wajib di pesawat selama masih memungkinkan dikerjakan di
darat, karena waktunya belum berakhir, atau bisa dijamak dengan shalat
setelahnya.
Dalam Majmu’ Fatawanya, beliau menyatakan,
“Jika masih memungkinkan mendarat sebelum berakhir waktu shalat yang
sekarang, atau sebelum berakhir waktu shalat selanjutnya yang
memungkinkan untuk dijamak, maka tidak boleh shalat di pesawat karena
shalat di pesawat itu tidak bisa menunaikan semua hal wajib dalam
shalat. Jika memang demikian keadaannya maka hendaknya menunda shalat
hingga mendarat lalu shalat di darat dengan cara yang benar” (Majmu’
Fatawa War Rasa-il, fatwa no.1079).
Sebagai contoh,
Anda yang melakukan perjalanan ke tanah suci, berangkat dari jakarta jam 10.00 WIB, anda akan tiba di Jedah sekitar jam 15.00 waktu Saudi. Dan itu baru masuk waktu shalat asar. Dengan menerapkan keterangan di atas, anda tidak selayaknya melakukan shalat dzuhur dan asar di pesawat. Namun anda bisa tunda hingga mendarat, sehingga bisa melakukan shalat dzuhur dan asar dijamak ta’khir di Jedah.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
0 Komentar